Selasa, 12 April 2011

Ayam

Seekor induk ayam tampak
sibuk dengan kelahiran tiga
ekor anaknya yang baru saja
menetas. Seperti komandan
barisan, ia memimpin ketiga
anaknya mencari makan di
sekitar kandang. Kemana ia
pergi dan bertingkah, seperti itu
pula anak-anaknya mengikuti.
Suatu kali, induk ayam ini
menginginkan hal lain bagi
anak-anaknya. Ia ingin ketiga
anaknya kelak menjadi ayam
istimewa, bukan ayam
kebanyakan. Ia ingin anaknya
bisa belajar terbang seperti
burung, berlari kencang seperti
kuda, dan mahir berenang
seperti ikan.
Sang induk ayam pun mengajak
anak-anaknya mengunjungi
burung bangau. “Hei bangau
sahabatku! Bisakah kau ajari
salah satu anakku bagaimana
terbang ?”
Walau agak keheranan, sang
bangau menuruti permintaan
induk ayam untuk mengajari
seekor anak ayam terbang.
Sang bangau mengajak anak
ayam itu menaiki sebuah bukit.
Dan setelah mengajari
bagaimana mengepakkan
sayap, sang bangau
‘ mendorong’ sang anak ayam
untuk lompat dari atas bukit. Ia
berharap, sang anak ayam bisa
terbang, sebagaimana ia diajari
induknya ketika masih kecil.
Ternyata, bukan terbang yang
bisa dilakukan sang anak ayam.
Ia terjatuh dari atas bukit dan
membentur sebuah batu cadas
di dasarnya. Anak ayam itu pun
mati.
Tanpa peduli dengan kematian
itu, kini sang induk ayam
mengajak dua anaknya
mengunjungi kuda. “Hei kuda
sahabatku, maukah kau
mengajari salah satu anakku
bagaimana berlari kencang ?”
ucap sang induk ayam sedikit
agak memaksa.
Walau agak keheranan, sang
kuda pun mengajak salah satu
anak ayam ke tanah lapang.
Setelah mengajari bagaimana
menggerakkan kaki agar lebih
cepat berlari, sang kuda
mengikatkan sebuah tali yang
menghubungkan antara ia
dengan tubuh anak ayam. Dan,
ia pun ‘memaksa’ anak ayam
itu berlari kencang. Cara itulah
yang ia dapatkan ketika ia
diajari induknya ketika masih
kecil.
Ternyata, bukan kecepatan
berlari yang didapat si anak
ayam malang itu. Justru, ia
terseret dan tubuhnya tergesek
bebatuan di sekitar tanah yang
dilalui kuda. Sang anak ayam
itu pun mati.
Kini, tinggal satu peluang yang
dimiliki induk ayam. Ia dan
anaknya yang tinggal satu pun
pergi meninggalkan kuda untuk
mengunjungi ikan. Sang induk
ayam berharap, anaknya yang
satu ini bisa belajar berenang
seperti ikan.
“Hei ikan sahabatku, maukah
kau mengajari anakku
berenang ?” teriak sang induk
ayam ke ikan sahabatnya di
tepian sebuah sungai.
Walau agak keheranan, sang
ikan pun terpaksa mengajak
anak ayam itu belajar
berenang. Setelah mengajari
bagaimana menggerakkan
tubuh ketika dalam air, sang
ikan ‘memaksa’ anak ayam
menceburkan diri ke air sungai.
Cara itulah yang pernah
diajarkan kepada sang ikan
ketika ia masih kecil.
Ternyata, bukan kemahiran
berenang yang didapatkan
anak ayam, justru, ia tak bisa
nafas karena tersedak air yang
terus masuk ke saluran nafas
kecilnya. Anak ayam itu pun
mati.
Kini, tinggal si induk ayam
melamun dalam kesendirian. Ia
masih terpaku dalam
kebimbangan: anak-anaknya
yang tidak bermutu, atau ia
yang salah memperlakukan
anak-anaknya.
**
Tidak banyak pemimpin yang
mampu menimbang dengan
adil antara keinginan dan
obsesinya yang begitu tinggi
dengan kemampuan yang
dimiliki orang-orang yang
dipimpinnya.
Alih-alih ingin meraih hal yang
istimewa dari yang ia pimpin,
justru orang-orang yang
mengikutinya ‘berguguran’
tergilas obsesi para
pemimpinnya.

Tidak ada komentar: