Senin, 29 Agustus 2011

Hening

Dalam sebuah keheningan
malam, seekor anak kelinci
tampak gelisah dalam lubang
nyaman keluarganya. Entah
kenapa, matanya sulit untuk
dipejamkan. Pikirannya selalu
menerawang ke arah gelap
yang membuat suasana kian
hening.
“Ayah, kenapa di sebagian
hidup kita selalu ada malam
yang membuat hening?” tanya
sang anak kelinci kepada
ayahnya yang tiba-tiba
terbangun.
Setelah berpikir sebentar, sang
ayah kelinci menjawab,
“Begitulah Yang Maha Kuasa
menciptakan keseimbangan
dalam hidup kita. Ada saatnya
kita bergerak, berlari, mencari
makan, dan ada saatnya kita
beristirahat.”
“Ayah, bukankah kita bisa
istirahat dalam suasana
terang?” sergah sang anak
kelinci di luar dugaan ayahnya.
“Anakku, dalam diri kita ada
ego, nafsu yang selalu
memaksa kita untuk memenuhi
kemanjaan-kemanjaannya.
Kepuasannya tidak akan
pernah berakhir hingga kita
mati. Karena itulah, Yang Maha
Bijaksana menciptakan malam
untuk memaksa kita tidak lagi
menuruti ego atau nafsu,” ucap
sang ayah kelinci panjang.
“Tapi ayah, aku tidak bisa
terlalu lama mengisi malam
hanya dengan istirahat. Seperti
yang kualami malam ini,”
ungkap si anak kelinci lagi.
“Anakku, malam hanya bentuk
dari sebuah keadaan. Isi yang
utamanya adalah keheningan.
Saat itulah, makhluk hidup
seperti kita terpenjara alam
ketidakberdayaannya. Dan saat
itulah, kita tersadarkan dengan
kesalahan, kekhilafan,
kelengahan atas apa yang telah
kita lakukan di siang tadi agar
tidak lagi terulang esoknya.
Itulah istirahat yang
sebenarnya,” jelas sang ayah
kelinci.
**
Hiruk pikuk kehidupan selama
sebelas bulan dalam putaran
satu tahun, seperti memenjara
kita dalam ruang sempit yang
dikuasai nafsu dan syahwat.
Seluruh raga terus ingin
bergerak memenuhi perintah
syahwat untuk mendapatkan
kepuasan sesuatu: harta, seks,
kekuasaan, kepemilikan, dan
sejenisnya.
Allah swt. memaksa hamba-
hambaNya yang Ia cintai untuk
sejenak berada dalam
keheningan. Keheningan malam
yang memberikan ruang bagi
ruhani bergerak mengalahkan
syahwat, untuk terbang ke
langit meninggalkan hinanya
tarikan dunia.
Dan, keheningan beberapa hari
terakhir di bulan suci ini untuk
melihat wajah dunia sebelas
bulan kita apa adanya. Untuk
sesaat, memenjarakan syahwat
yang selama ini telah menjadi
tuan dalam diri kita.

Selasa, 09 Agustus 2011

Umpan.

Seorang pemburu muda
tampak setengah berlari
menuju pepohonan rindang.
Wajahnya menunjukkan
kelelahan yang begitu serius.
Nafasnya masih tersengal.
“Uh, ternyata sulit sekali
memburu macan tutul,”
ucapnya kepada seorang
rekannya yang lebih senior.
“Dengan cara apa kamu
memburu macan tutul?” ucap si
pemburu senior sambil
memperbaiki posisi duduknya di
bawah rindangnya pepohonan
di sebuah tepian hutan.
“Aku terus melacak jejaknya.
Sudah kusiapkan senjata
berjenis jarak jauh yang akurat.
Kalau saja macan itu sudah
kutemukan…,” jelasnya
kemudian.
“Saudaraku, lihatlah di balik
pohon besar itu!” ucap si
pemburu senior sambil
menunjuk sebuah kerangkeng
besi.
Dan betapa terkejutnya si
pemburu muda ketika
mendapati di kerangkeng besi
itu terdapat dua ekor macam
tutul. Ia pun terperangah.
Bagaimana mungkin si pemburu
tua bisa mendapatkan dua ekor
tanpa berpayah-payah
sepertinya?
“Pak tua, dengan senjata apa
kau bisa melumpuhkan dua
macan tutul sekaligus? Padahal,
aku tidak melihat dirimu
berpayah-payah mengejarnya?”
suara si pemburu muda dari
kejauhan. Matanya masih lekat
menatap dua macan tutul itu.
Pemburu tua pun menghampiri
pemburu muda yang masih
terperangah dengan apa yang
ada di hadapannya.
“Saudaraku,” ucapnya sambil
tangan kanannya menepuk
bahu si pemburu muda. “Tidak
semua berburu itu berarti
mengejar,” tambahnya
kemudian.
“Maksudmu?” kilah pemburu
muda sambil sedikit menoleh.
“Tampakkanlah apa yang paling
mereka suka, merekalah yang
akan mengejarmu. Nafsulah
yang membuat mereka menjadi
bodoh, dan tidak lagi bisa
membedakan mana umpan dan
mana temuan,” ungkap si
pemburu tua yang disambut
anggukan oleh si pemburu
muda.
**
Kehidupan saat ini sudah
seperti arena perburuan yang
saling berkejaran satu sama lain
untuk memperebutkan
sejumlah kepentingan individu
dan kelompok. Saat itulah,
masing-masing kita menjadi
sangat berwaspada dengan
kelompok atau pihak yang
menampakkan perburuan
terhadap kita.
Tapi berhati-hatilah dengan
permainan jebakan dari pihak
lawan dengan umpan-umpan
yang menggelorakan syahwat
duniawiyah. Karena saat itulah,
nalar dan kewaspadaan kita
berada pada posisi terendah,
sehingga tak lagi bisa
membedakan mana umpan dan
mana temuan.

Kamis, 04 Agustus 2011

Tanah

Ada empat anak yang baru saja
mengalami duka setelah
kematian kedua orang tuanya.
Sebuah surat wasiat pun
mereka terima dari orang yang
mereka cintai itu. Setelah
urusan jenazah kedua orang
tuanya selesai, empat anak itu
pun membuka surat berharga
itu.
Ternyata, surat itu
menyebutkan bahwa keempat
anak itu diberikan pilihan untuk
memiliki empat bidang tanah
yang berlainan tempat. Ada
bidang tanah yang begitu hijau
dengan begitu banyak
pepohonan kayu yang bisa
dijual. Ada bidang tanah yang
berada di tepian sungai jernih,
sangat cocok untuk ternak
berbagai jenis ikan. Ada juga
bidang tanah yang sudah
menghampar sawah padi dan
ladang. Ada satu bidang tanah
lagi yang sangat tidak menarik:
tanah tandus dengan
tumpukan pasir-pasir kering di
atasnya.
Menariknya, surat itu diakhiri
dengan sebuah kalimat:
beruntunglah yang memilih
tanah tandus.
Anak pertama memilih tanah
pepohonan hijau. Anak kedua
pun langsung memilih tanah
dengan aliran sungai jernih.
Begitu pun dengan yang ketiga,
ia merasa berhak untuk
memilih tanah yang ketiga
dengan hamparan sawah dan
ladangnya. Dan tinggallah anak
yang keempat dengan tanah
tandusnya.
“Apa engkau kecewa, adikku,
dengan tanah tandus yang
menjadi hakmu?” ucap para
kakak kepada si bungsu.
Di luar dugaan, si bungsu
hanya senyum. Ia pun berujar,
“Aku yakin, pesan ayah dan ibu
tentang tanah tandus itu benar
adanya. Yah, justru, aku sangat
senang!”
Mulailah masing-masing anak
menekuni warisan peninggalan
kedua orang tuanya dengan
begitu bersemangat. Termasuk
si bungsu yang masih bingung
mengolah tanah tandus
pilihannya.
Hari berganti hari, waktu terus
berputar, dan hinggalah
hitungan tahun. Tiga anak
penerima warisan begitu
bahagia dengan tanah subur
yang mereka dapatkan.
Tinggallah si bungsu yang masih
sibuk mencari-cari, menggali
dan terus menggali, kelebihan
dari tanah tandus yang ia
dapatkan. Tapi, ia belum juga
berhasil.
Hampir saja ia putus asa. Ia
masih bingung dengan manfaat
tanah tandus yang begitu luas
itu. Sementara, kakak-kakak
mereka sudah bernikmat-
nikmat dengan tanah-tanah
tersebut. “Aku yakin, ayah dan
ibu menulis pesan yang benar.
Tapi di mana
keberuntungannya?” bisik hati
si bungsu dalam kerja kerasnya.
Suatu kali, ketika ia terlelah
dalam penggalian panjang
tanah tandus itu, hujan pun
mengguyur. Karena tak ada
pohon untuk berteduh, si
bungsu hanya berlindung di
balik gundukan tanah galian
yang banyak mengandung
bebatuan kecil. Tiba-tiba,
matanya dikejutkan dengan
kilauan batu-batu kecil di
gundukan tanah yang tergerus
guyuran air hujan.
“Ah, emas! Ya, ini emas!” teriak
si bungsu setelah meneliti
bebatuan kecil yang
sebelumnya tertutup tanah
keras itu. Dan entah berapa
banyak emas lagi yang
bersembunyi di balik tanah
tandus yang terkesan tidak
menarik itu.
**
Keterbatasan daya nilai manusia
kadang membimbingnya pada
kesimpulan yang salah. Sesuatu
yang dianggap bernilai, ternyata
hanya biasa saja. Dan sesuatu
yang sangat tidak menarik
untuk diperhatikan, apalagi
dianggap bernilai, ternyata
punya nilai yang tidak terkira.
Hiasan-hiasan duniawi pun kian
mengokohkan keterbatasan
daya nilai manusia itu. Tidak
banyak yang mampu
memahami bahwa ada satu hal
di dunia ini yang jauh dan
sangat jauh lebih bernilai dari
dunia dan isinya. Itulah hidayah
Allah yang tidak tertandingi
dengan nilai benda apa pun di
dunia ini.
Sayangnya, tidak semua orang
seperti si bungsu, yang begitu
yakin dengan kebenaran
bimbingan kalimat dari si
pewaris yang sebenarnya.
Walaupun harus menggali, dan
terus menggali dengan penuh
kesabaran.