Minggu, 08 Juni 2014

Persiapkan Bekalmu ! (2)

LANJUTAN....

2.      Takwa
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.” (QS. Al Imron: 102)
Secara etimologi takwa memiliki arti menjaga. Menurut tinjauan syar’I adalah penjagaan diri seorang hamba terhadap kemurkaan Allah swt dan siksa-Nya dengan melaksanakan semua yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang.
Dengan adanya takwa dalam hati, kita senantiasa menjaga diri dari segala perbuatan yang bisa mendatangkan kemurkaan dan siksa Allah swt. Caranya yaitu dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Apakah itu berat? Tidak  bagi orang yang bertakwa. Allah tidak memerintahkan untuk melakukan segala perintah-Nya. Dia memerintahkan kita untuk melakukan amal shalih sesuai dengan kemampuan kita. Gak semuanya kok, lalu apa yang menjadi alasan kita untuk tidak melakukan perintah-Nya? Tentunya yang wajib jangan samapai kita tinggalkan. Contohnya shalat. Meski sakit kita tetap diperintahkan untuk shalat. Jika tidak mampu berdiri kita dianjurkan untuk sholat dengan duduk. Jika tidak mampu duduk dianjurkan dengan posisi tidur, tapi jangan sampai ketiduran ya. Kalau masih tidak mampu ya dengan isyarat mata. Kalau tidak mampu dengan mata dianjurkan dengan hati. Kalau masih gak mampu ya dishalatkan saja. Mudahkan? Allah gak akan merpersulit kita dengan perintah-Nya. Justru yang merpersulitnya adalah kita sendiri.
 Disisi lain Allah memerintahkan kita untuk meninggalkan segala larangan-Nya. Kita diperintahkan untuk meninggalkan, tidak diperintahkan untuk melakukannya bukan. Lalu apa yang memberatkan kita untuk meninggalkan segala larangan-Nya? Hanya tinggal menjauhi larangan tersebutkan.
Abu Hurairah ra. menceritakan bahwasanya beliau mendengar Rasulullah saw bersabda: “Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka deangan para Nabi-Nabi (yang diutus kepada mereka).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun tidak berarti kita mendiamkan larangan itu terus terjadi. Jika mempunyai kemampuan dan kekuasaan untuk menghilangkan tindakan tersebut mengapa kita harus diam. Lakukan semampu kita jika memang tidak mepunyai kemampuan untuk itu paling tidak kita memiliki niat untuk menghilangkannya. Jangan malah ikut bergabung didalamnya walaupun hanya duduk-duduk saja.
Berikut beberapa jalan agar kita dapat menuju takwa yang sebenar-benarnya takwa, yang saya sadur dari buku Quantum Takwa[1] terjemahan Imtihan Asy-Syafi’i:
a.      Mencintai Allah
Ada beberapa hal yang bisa menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah:
1)      Membaca al Qur’an dengan mentadaburi dan memahami maknanya.
2)      Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunnah setelah melaksanakan yang fardhu
3)      Terus-menerus berdzikir kepada Allah dengan hati dan lisan
4)      Mendahulukan apa yang dicintai-Nya daripada apa yang anda cintai, ketika hawa nafsu berkuasa.
5)      Mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, menyaksikanya, berbolak-balik di taman maknannya.
6)      Mengingat-ingat karunia-Nya, ihsan-Nya dan kebaikan-Nya kepada setiap hamba. Sesungguhnya hati tercipta mencintai siapa yang berbuat baik kepadanya dan membenci siapa yang berbuat buruk kepadanya.
7)      Menyendiri bersama-Nya pada sepertiga malamyang terakhir.
8)      Bergaul dengan para pecinta sejati dan memungut buah –buah pembicaraan mereka yang baik.
9)      Menjauhi syahwat dan syubhat apa pun yang dapat menghalangi hati kepada Allah.
10)  Memikirkan ciptaan-Nya yang menunjukkan kesempurnaan-Nya. sesungguhnya hati tercipta mencintai kesempurnaan dan para salaf lebih mendahulukan tafakur daripada ibadah badan.
11)  Mengingat-ingat ayat-ayat dan hadist-hadist yang menerangkan bahwa penghuni surga akan memandang Rabb mereka, mengunjungi-Nya dan berkumpul dengan-Nya pada hari diberikannya ziyadah (tambahan atas nikmat surga)

b.      Muraqabah dan malu kepada Allah
Maksudnya adalah membiasakan diri untuk muraqabah dan merasakan pengawasan Allah swt sehingga seseorang malu untuk melakukan kemaksiatan dan akan bersungguh-sungguh dalam keataatan.
“dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaaf; 16)
“…Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Baqarah: 235)
“Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yunus: 16)
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, Rasulullah saw bersaabda:
“Malulah kepada Allah dengan sebenar-benar malu! Barangsiapa malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu, hendaklah dia menjaga kepala dan kesadarannya, hendaklah menjaga perut dan apa yang diisikannya, dan hendaklah mengingat kematian dan musibah! Barangsiapa menginginkan akhirat pastilah dia meninggalkan perhiasan kehidupan dunia. Dan barangsiapa melakukan semua itu, sungguh dia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu.” (HR. At Tirmidzi)
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Malu adalah takwa yang paling ringan. Seseorang tidak akan takut (kepada Allah) sehinga dia malu. Dan tidaklah orang-oraang bertakwa itu sampai kepada takwa melainkan bermula dari malu.”
Harits Al-Muhasibi berkata, “Muraqabah itu mengertinya hati akan kedekatan Allah.”
Sering kali Imam Ahmad membaca syair:
Jika suatu saat kamu sendirian, jangan katakana, Aku sedang sendiri.
Tetapi katakana ada yang mengawasiku
Jangan kau kira Allah alpa sesaat
Juga ada sesuatu yang tersembunyi dan jauh dari-Nya

c.       Mengerti bahwa kemaksiatan dan dosa mengakibatkan keburukan dan derita
Ibnul Qayyim menulis, “Apakah yang mengeluarkan ayah-ibu kita dari surge negeri kelezatan, kenikmatan, keindahan dan kebahagiaan menuju negeri derita, kesedihan dan musibah?
Apa pula yang mengeluarkan Iblis dari alam Malakut di langit dan membuatnya terusir, terlaknat dan mengubah lahir batinnya sehingga sosoknya menjadi sosok terburuk dan terhina, sementara batinnya lebih buruk dan lebih hina lagi.
Apakah yang membuat seluruh penduduk bumi tenggelam sehingga air naik sampai di puncak  gunung-gunung? Apakah topan badai memorak porandakan kaum ‘Ad sehingga mereka mati bergelimpangan dimuka bumibagaikan pohon-pohon kurma yang lapuk dan meluluhlantahkan seluruh bangunan dan pertanian mereka?apakah yang membuat kaum Tsamud mendapat kiriman suara keras yang mengguntur sehingga urat-urat jantung mereka putus dan mereka mati seketika? Apakah yang membuat deda Nabi Luth diangkat dan malaikat mendengar lolongan anjing –anjing mereka dan kemudian desa itu dibalik dan ditimpakan kepada mereka, bagian atasnya menjadi bagian bawah lalu mereka dihujani bebatuan dari sijjil? Dikumpulkan banyak hukuman atas mereka yang tidak pernah dikumpulkan untuk umat selain mereka. Dan orang semisal dengan mereka pun akan mendapatkan hukuman seperti mereka. Hukuman itu tidaklah jauh dari orang-orang yang zhalim.
Segera sirna kelezatan yang diperoleh dari jalan haram
Yang tersisa tinggal dosa dan aib
Akibat keburukan senantiasa terasa
Tiada kebaikan dalam kelezatan berbuntut neraka

d.      Belajar mengalahkan hawa nafsu dan menaati Allah
Syaikh Musthafa as-Siba’I menulis, “Jika hawa nafsumu berhasrat untuk bermaksiat, ingatkanlah ia kepada Allah. Jika hasrat itu reda, ingatkanlah ia tentang akhlak para Rijal (para lelaki sejati). Jika hasrat itu tidak reda, ingatkanlah ia tentang kehinaan saat orang-orang mengetahuinya. Jika hsrat itu tidak juga reda, ketauhilah bahwa pada saat itu kamu telah berubah menjadi binatang.”
Dengan mengikuti hawa nafsu sama saja kita membiayarkan diri menuju ke neraka.
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 37-41)
Dengan mengikuti hawa nafsu akan membuat kita tersesaat dari jalan-Nya yang akan mendapatkan azab yang berat. Allah berfirman, “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shad: 26)
e.      Mengetahui tipu daya dan jerat-jerat setan serta mewaspadai godaan dan gangguannya.
Al-‘allamah Ibnu Muflih Al-Maqdisi menerangkan, “Ketahuilah bahwa setan menghadang orang-orang yang beriman dengan tujuh rintangan. Pertama adalah rintangan kekafiran. Jika selamat darinya, maka dengan rintangan bid’ah. Kemudian dengan rintangan dosa-dosa besar, lalu dengan rintangan dosa-dosa kecil. Jika selamat darinya, maka dengan amalan mubah yang menyibukan mereka dari berbagai ketaaatan. Jika masih bisa mengalahkannya, maka dengan menyibukkannya untuk mengerjakan amalan yang kurang utama sementara ada amalan yang lebih utama. Jika masih saja selamat darinya, maka dia akan menghadangnya dengan rintangan yang ketujuh, dan taka da seorang beriman pun selamat darinya. Jika ada, maka Rasulullah saw pasti termasuk selamat darinya. Rintangan itu adalah pengerhan musuh-musuh durjana dengan berbagai macam marabahaya.”
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. (QS. An-Nuur: 21)
Berikut beberapa perkara yang dapat terjaga dari bisikkan-bisikan syaitan:
1)      Ber-isti’ adzah kepada Allah. Allah berfirman, “Jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, Maka mohonlah perlindungan kepada Allah.” (QS. Fushlihat: 36)
2)      Membaca surat-surat mu’awwidzat (Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas). Rasulullah saw bersabda, “tidaklah orang-orang memohon perlindungan dengan yang semisal dengannya” HR. An-Nasa’i
3)      Membaca ayat kursi menjelang tidur. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa membacanya menjelang tidurnya akan selalu ada (utusan) dari Allah yang menjaganya, sehingga dia tidak didekati oleh setan.” HR. Abu Hurairah
4)      Membaca surat Al-Baqarah. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya rumah yang didalamnya dibaca surat Al-Baqarah tidak dimasuki syetan.” HR. Muslim
5)      Membaca akhir surat Al-Baqarah. Abu Mas’ud Al-Anshari menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada suatu malam, keduanya mencukupi.” HR. Al-Bukhari
6)      Membaca doa ini 100 kali
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ
“Tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan pujaan. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
7)      Memperbanyak zikir kepada Allah
8)      Berwudhu dan shalat
9)      Menaahan diri dari berlebih-lebihan dalam memandang (yang diharamkan), berbicara, makan dan bergaul. Sesungguhnya setan menguasai anak cucu Adam dan berhasil mewujudkannya dari empat pintu itu.
3.      Ilmu
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujaadilah: 11)
Bekal yang harus dimilki seorang pemuda dalam mengarungi kehidupan ini adalah ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu dunia. karena dengan ilmu kita bisa menentukan baik, benar dan salahnya suatu perkara. Dengan ilmu juga kita bisa terhindar dari kesesatan aqidah yang bisa membawa kita masuk ke neraka jahanam untuk selama-lamanya. Nau’uzubillah minzalik...
Banyak dalil-dalil yang menerangkan tentang perintah menuntun ilmu dan balasan bagi orang-orang yang berilmu. Seperti dalam QS. Al Mujaadilah ayat 11. Dalam ayat tersebut dapat diambil dua point penting, yang pertama adalah kita harus melapangkan majelis yaitu bisa juga melapangkan hati untuk berbagi tempat dengan orang lain, bahkan jika ia diminta berdiri lalu memberikan tempatnya kepada orang yang patut menempati dimuka, maka janganlah berkecil hati. Point yang kedua adalah Allah SWt akan meninggikan derajat beberapa orang lebih tinggi dari kebanyakan orang. Yang pertama adalah orang yang beriman dan yang kedua adalah orang yang berilmu.
Dari Ashim bin Dhamrah, dari Ali ra. berkata, “Ketahuilah sesungguhnya orang fakih adalah orang yang tidak membuat manusia putus asa dari rahmat Allah, tidak membuat mereka merasa aman dari adzab-Nya dan tidak terlalu memudahkan mereka untuk bermaksiat kepada-Nya serta tidak meninggalkan Al-Qur’an karena benci dengan mencari selain Al-Qur’an. Tidak ada kebaikan didalam ibadah yang tidak disertai dengan ilmu. Tidak ada kebaikan pada ilmu yang tidak disertai dengan pemahaman dan tidak ada kebaikan didalam membaca yang tidak disertai dengan tadabbur.”
Ilmu yang paling utama adalah ilmu agama. Dari Hafish bin Amru As-Sa’di dari pamannya berkata, Salman ra. pernah berkata kepada Hudzaifah ra. “Wahai saudara dari Bani Abs, ilmu itu banyak sedangkan umur itu pendek, maka ambillah ilmu yang kamu butuhkan dalam urusan agamamu daan tinggalkan yang lainnya jangan kamu pedulikan.”
Karena dengan ilmu ini kebahagian dunia dan akhirat dapat kita dapat. Dengan ilmu agama kita terhindar dari kesyirikan. Dengan ilmu agama kita terhindar dari penyimpangan aqidah. Dengan ilmu agama kita akan selalu dituntun ke jalan lurus. Dengan ilmu agama kita bisa bertahan meski dalam kesusahan. Dengan ilmu agama kita tidak akan gelisah melihat orang lain dilimpahkan kenikmatan. Dengan ilmu agama tidak ada waktu yang sia-sia karena setiap waktu luang diisi dengan berdzikir. Dengan ilmu agama kita terhindar dari perkataan sia-sia. Dengan ilmu agama rasa sombong akan pergi dari hati. Dengan ilmu agama sedekah akan nampak indah. Dengan ilmu agama shalat adalah kebutuhan yang harus dipenuhi. Dengan ilmu agama segala amal shaleh akan dinilai  ibadah. Dengan ilmu agama kita akan mendapat pahala yang terus mengalir disetiap ilmu yang kita sampaikan untuk orang lain hingga datangnya hari kiamat. Dengan ilmu agama kita akan terhindar dari amalan yang sia-sia. Tanpa ilmu agama, sungguh kelak akan merugi bagi seorang muslim yang membawa segunung amalan tapi Allah menolak amalan tersebut.
Sebagai seorang pemuda muslim, juga dituntut menguasai ilmu dunia. Tak mungkin seseorang bisa hidup di dunia hanya mengandalkan ilmu agama saja tanpa menguasai ilmu dunia. apakah anak istri kita akan kita ceramahi saat mereka kelaparan? Tentu saja tidak. Dengan ilmu dunia kita bisa bertahan hidup. Dengan ilmu dunia kita bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan ilmu dunia kita bisa membiayai dakwah kita.
Banyak ilmuan-ilmuan Islam yang berjasa bagi dunia. Tidak hanya memiliki ilmu agama yang tapi mereka juga memiliki kecerdasan dalam ilmu-ilmu dunia. Ibnu Sina misalnya, ilmu kedokteraannya menjadi rujukan dokter-dokter diseluruh dunia. Ibnu Ismail Al-Jazari yang menemukan teori hidrolik. Temuannya tersebut menjadi rujukan dalam pembuatan robot yang berkembang di seluruh dunia terutama di Negara-negara maju. Dan masih banyak lagi ilmuan muslim yang sangat berpengaruh bagi dunia.
Jadi sangat dianjurkan bagi seorang muslim untuk menuntut ilmu agama dan ilmu dunia. Dengan begitu, ia bisa menggenggam dunia untuk meraih kebahagiaan akhirat. Dari Musayyab bin Rafi’ berkata, “Sungguh aku sangat benci melihat seorang pengangguran yang tidak bekerja untuk dunianya dan tidak pula beramal untuk akhiratnya.”
 Imam Ja’far a.s berkata: “Ada beberapa macam derajat kepercayaan pada Allah. Salah satunya bahwa Anda harus menaruh kepercayaan Anda pada Allah dalam segala urusan Anda, selalu berkenan pada apa yang Allah SWT lakukan pada Anda, mengetahui dengan pasti bahwa Allah tidak akan pernah berhenti pada segala Kebaikan-Nya dan rahmat-Nya pada Anda, juga bahwa di dalamnya terletak perintah-Nya. Oleh karenanya taruhlah kepercayaan Anda pada Allah, biarkan sepenuhnya pada-Nya dan berserahlah pada-Nya dalam segala hal dan semua urusan.”



[1] Judul Asli: At-Taqwa; Al-Ghayah Al-Mansyudah wa Ad-Durrah Al-Mafqudah, Dr. Ahmad Farid.

Sabtu, 07 Juni 2014

Persiapkan Bekalmu ! (1)

Dari Sufyan Ats-Tsauri berkata, Abu Dzar Al-Ghifari ra. pernah berkata disisi Ka’bah, “Duhai manusia, akan adalah Jundub Al-Ghifari. Pergilah kemariuntuk menemui saudara kalian, seorng pemberi nasihat yang benar-benar menaruh rasa belas kasih.”
Lalu orang-orang pun mengelilinginya, baru kemudian Abu Dzar ra. berkata, “Apa pendapat kalian bila salah satu dari kalian ingin melakukan perjalanan, bukankah dia akan mempersiapkan bekal yang terbaik dan dapat mengantarkannya sampai tujuan?”
Mereka menjawab, “Benar, memang demikian adanya.”
“Sesungguhnya perjalanan menuju akhirat lebih jauh daripada yang kalian tuju di dunia ini,” kata Abu Dzar.
Mereka bertanya, “Lalu bekal apa yang baik bagi kami?”
Abu Dzar menjawab, “Berhajilah kalian untuk menghadapi urusan yang amat agung, berpuasalah pada hari yang panasnya sangat terik untuk menghadapi lamanya hari kebangkitan dan laksanakanlah shalat dua rakaat di kegelapan malam untuk mengahadapi kengerian dalam kubur. 

Sahabat muslim selayaknya kita hatus mempersiapkan bekal sebelum kita berangkat. Untuk menentukan bekal yang akan kita bawa, terlebih dahulu kita mengetahui tujuan yang akan kita tuju. Jika kita mau mendaki gunung, bekal yang akan kita bawa paling tidak adalah matras, tenda, ransel, makanan, air minum, jas hujan, penerang/senter dan sebagainya. Selain itu, kita juga harus mengetahui medan yang akan kita lalui. Landai, terjal, jalan yang berbatu serta cuaca saat pendakian serta keadaan gunung yang akan kita daki. Setelah persiapan sudah matang dan informasi tentang medan serta keadaan gunung sudah dirasa cukup maka pendakian bisa dimulai. Ketika pendakian sudah dimulai, maka jangan pernah untuk turun lagi sebelum kita samapi dipuncak. Walau dalam pendakian kita harus menghadapi medan yang curam atau cuaca yang ekstrim. Jika kita sudah berhenti samapi disini, maka kita tidak akan pernah sampai di puncak gunung.
Begitu juga dengan kehidupan ini wahai sahabat muslim. Kita harus mempersiaapkan bekal kita untuk perjalanan panjang ini. Agar tujuan kita memasuki surga-Nya bisa kita raih. Oleh karena itu mari kita persiapkan bekal itu sejak sekarang. Jangan ditunda-tunda lagi. Selagi sempat, gunakan waktu agar bermanfaat. Sebelum usia berkarat, dan hanya penyesalan yang didapat.

1.      Iman
Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw pernah ditanya, “Apakah amal yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Menurut etimologi iman artinya pengakuan yang mengharuskan untuk menerima dan tunduk, dan harus disesuaikan dengan syariat.[1]
Dari Anas Radhiallahu’anhu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
ثلاث من كن فيه وجد بهن حلاوة الإيمان : أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله، وأن يكره أن يعود في الكفر بعد أن أنقذه الله منه كما يكره أن يقذف في النار". وفي رواية : " لا يجد أحد حلاوة الإيمان حتى ... إلى آخره.
“Ada tiga perkara, barang siapa terdapat di dalam dirinya ketiga perkara itu, maka ia pasti mendapatkan manisnya iman, yaitu : Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari pada yang lain, mencintai seseorang tiada lain hanya karena Allah, benci (tidak mau kembali) kepada kekafiran setelah ia diselamatkan oleh Allah darinya, sebagaimana ia benci kalau dicampakkan kedalam api”. (Imam Bukhori dan Muslim)
 Al Hafizh Ibnu Hajar menulis, “Secara etimologi, iman berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara syar’I, iman adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Rasul dari Rabb-nya. Ibnu hajar juga menambahkan, “Iman meliputi perkataan dan perbuatan, bisa bertambah bisa berkurang.”[2]

Syaikh Muhammad Bin Utsaimin dalam bukunya Syarah Al-Araba’in An-Nawawiyah ada kaidah-kaidah yang menjadi poin penting dalam rukun Islam, yaitu

a.      Iman Kepada Allah SWT.
Beriman kepada Allah SWT mencakup empat hal, yaitu:
1)      Percaya akan keberadaan-Nya.
2)      Beriman bahwa rububiyah hanya milik-Nya. Dengan kata lain, beriman bahwa Dia adalah Rabb atu-satunya, hanya Dia yang memiliki kuasa rububiyah. Rabb artinya Pencipta, Penguasa dan Pengatur.
3)      Beriman bahwa uluhiyah hanya milik-Nya, Dialah ilah satu-satu-Nya, tidak ilah yang berhak diibadahi selain-Nya, tiada sekutu bagi-Nya.
4)      Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah, dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat seperti yang Allah sebut untuk diri-Nya dalam kitab-Nya atau dalam sunnah rasul-Nya, secara baik, tanpa tahrif (mengubah kata-katanya), ta’thil (mengabaikan makna sebenarnya), takyif (menggambarkan esensinya) ataupun tamstil (menyerupakan dengan makhluk).

b.      Iman Kepada Malaikat
Beriman kepada malaikat mencakup beberapa hal di bawah ini:
1)      Mengimani nama-nama malaikat yang kita ketahui. Kita beriman bahwa ada malaikat yang bernama ini dan itu, Jibril misalnya.
2)      Kita beriman bahwa para malaikat memiliki tugas masing-masing.
Allah berfirman, “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.(QS. Qaf: 16-18)

c.       Iman Kepada Kitab Allah.
Beriman kepada Allah mencakup empat hal sebgai berikut:
1)      Kita beriman bahwa Allah menurunkan kitab-kitab kepada rasul dari sisi Allah. Namun, kita tidak percaya bahwa kitab-kitab yang abadi kalangan umat-umat sekarang selain umat Islam itulah yang diturunkan dari sisi Allah, karena semua kitab mereka sudah diubah-ubah dan diganti. Untuk kitab yang asli dari Allah untuk rasul, kita percaya itu benar dari sisi Allah.
2)      Kita mengimani kebenaran berita-berita yang disampaikan di dalamnya seperti berita-berita Al Quran, dan berita-berita dalam kitab lain sebelumnya yang tidak diubah dan diganti.
3)      Kita mengimani hukum-hukum yang tertera dalam kitab-kitab Allah selama tidak berseberangan dengan syariat kita, menurut pendapat yang menyatakan bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat untuk kita juga. Ini benar, selama tidak berseberangan dengan syariat kita.
4)      Kita mengimani nama-nama kitab yang kita tahu, seperti Al Quran, Taurat, Injil, Zabur, lembaran-lembaran Ibrahim dan Musa.

d.      Iman Kepada rasul-Nya
Utusan Allah kadang disebut rasul dan juga nabi. Rasul adalah orang yang diberi wahyu berupa syariat, diperintahkan untuk mengamalkan dan diperintahkan untuk disampaikan kepada umatnya. Sedangkan nabi adalah orang yang diberi wahyu berupa syariat, diperintahkan untuk mengamalkan, hanya saja tidak diperintahkan untuk disampaikan. Para rasul adalah yang berada ditingkatan teratas yang diberi lipahan karunia oleh Allah. Mereka adalah Nabi Muhammad SAW, Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS yang disebut dengan rasul ulul ‘azmi. Nama-nama mereka disebutkan dalam firman Allah berikut:  
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh”. (QS. Al Ahzab (33): 7)

e.      Iman Kepada Hari Kiamat
Beriman kepada hari kiamat mencakup beberapa hal:
1)      Beriman bahwa hari akhir benar-benar terjadi. Allah akan membangkitkan manusia dari kubur saat sangkakala ditiup dan seluruh manusia berdiri menghadap Rabb seluruh alam. Allah berfirman “Kemudian, sesungguhnya kamu akan dibangkitkan (dari kuburmu) pada hari kiamat.” (Al-Mu’minun: 16)
2)      Mengimani segala hal terkait hari akhir yang disebutkan dalam kitab Allah dan sunnah yang sahih dari Nabi saw.
3)      Mengimani segala sesuatu yang disebut pada hari akhir, seperti telaga Nabi, syafaat, shirath, surga, neraka, dan lainnya. Surge sebagai negeri kenikmatan, sementara neraka sebagai negeri siksaan berat.
4)      Mengimani adanya nikmat dan azab kubur, karena hal tersebut tertera dalam Al Quran, sunnah, dan ijmak salaf.

f.        Iman Kepada Takdir Allah.
Beriman kepada takdir mencakup empat hal sebagai berikut:
1)      Mengimani ilmu Allah yang meliputi segala-galanya, baik secara garis besar maupun rinci. Allah berfirman, “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 282)  
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al-An’am: 59)
2)      Beriman bahwa Allah telah menulis takdir segala sesuatu hingga hari kiamat dalam Lauhul Mahfuzh. Allah berfirman, “Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
3)      Beriman bahwa apapun yang terjadi di alam ini sesuai kehendak Allah, tidak ada satu pun yang luput dari kehendak-Nya. Allah berfirman, “Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya.” (Al-An’am: 112)
4)      Beriman bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara umum. Allah berfirman, “Dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetpkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” (QS. Al-Furqan: 2)
Makna iman tak sebatas hanya mencangkup rukun iman saja, tapi lebih luas dari itu. Iman itu terdiri dari enam puluh sekian cabang, hal ini tersirat dalam hadist Rasulullah saw,
“Iman terdiri dari enam puluh sekian cabang, dan malu adalah bagian dari Iman.” (HR. Al-Bukhari)
Al Hafizh menulis cabang-cabang ini meliputi amal hati, amal lisan dan amal badan. Yang termasuk amal hati adalah keyakinan dan niat.
Amal hati mencakup 24 perkara:
1)      Beriman kepada Allah
2)      Beriman kepada malakikat-malaikat-Nya
3)      Beriman kepada kitab-kitab-Nya
4)      Beriman kepada rasul-rasul-Nya
5)      Beriman kepada takdir yang baik dan buruk
6)      Beriman kepada hari kiamat
7)      Ikhlas yang meliputi tidak riya’ dan plin-plan
8)      Taubat
9)      Khauf (takut pada siksa Allah)
10)  Raja’ (mengharap pahala dari allah)
11)  Syukur
12)  Memenuhi janji
13)  Sabar
14)  Ridha terhadap takdir
15)  Tawakal
16)  Berbelas kasih
17)  Tawadhu’
18)  Menghormati yang lebih tua
19)  Mengasihi yang lebih muda
20)  Tidak sombong
21)  Tidak ‘ujub
22)  Tidak iri
23)  Tidak dengki
24)  Tidak marah

Amal lisan meliputi tujuh perkara:
1)      Melafalkan tauhid
2)      Membaca al Qur’an
3)      Mempelajari ilmu dan mengajarkannya
4)      Berdoa
5)      Berdzikir
6)      Istigfar
7)      Menjauhi laghwu (ucapan yang sia-sia)

Amal badan terbagi menjadi tiga bagian:
1)      Yang mencakup personal:
a.      Bersuci secara nyata maupun secara hukum
b.      Menjauhi berbagai najis
c.       Menutup aurat
d.      Melakukan shalat wjaib ataupun sunnah
e.      Haji
f.        Umrah
g.      Thawaf
h.      I’tikaf
i.        Mencari malam al Qadar
j.        Mempertahankan agama
k.       Berhijrah dari negeri kemusyrikan
l.        Menepati nadzar
m.    Berhati-hati dalam bersumpah
n.      Membayar kafarat

2)      Yang menyangkut orang lain:
a.      Menjaga kehormatan diri dengan menikah
b.      Memenuhi hak keluarga
c.       Berbakti kepada orang tua
d.      Menjauhi sikap durhaka
e.      Mendidik anak
f.        Menjalin tali silaturahim
g.      Menaati majikan atau mengasihi budak

3)      Yang menyangkut khalayak
a.      Memimpin dengan adil
b.      Mengikuti jamaah
c.       Menaati Ulil amri
d.      Mengadakan perbaikan diantara manusia
e.      Tolong menolong daalam kebaikan termasuk amar ma’ruf nahi munkar
f.        Menegakkan hokum hudud
g.      Menegakkan jihad termasuk ribath (berjaga di daerah perbatasan)
h.      Menunaikan amanat termasuk menyerahkanseperlimaa harta raampasan perang kepada Baitul Mall
i.        Memberikan pinjaman dan membayarnya tepat waktu
j.        Memuliakan tetangga
k.       Bermuamalah dengan baik termasuk mengumpulkan harta dari yang halal
l.        Menginfakkan harta pada tempatnya termasuk meninggalakan tabdzir dan israf
m.    Menjawab salam
n.      Mendoakan orang yang bersin
o.      Mencegah marabahaya yang menghampiri seseorang
p.      Menjauhi lahwu (perbuatan sia-sia)
q.      Menyingkirkan gangguan dari jalan.




[1] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Op. Cit., Hlm. 49
[2] Syajaratul Iman, Ahmad Farid.