Sabtu, 07 Juni 2014

Persiapkan Bekalmu ! (1)

Dari Sufyan Ats-Tsauri berkata, Abu Dzar Al-Ghifari ra. pernah berkata disisi Ka’bah, “Duhai manusia, akan adalah Jundub Al-Ghifari. Pergilah kemariuntuk menemui saudara kalian, seorng pemberi nasihat yang benar-benar menaruh rasa belas kasih.”
Lalu orang-orang pun mengelilinginya, baru kemudian Abu Dzar ra. berkata, “Apa pendapat kalian bila salah satu dari kalian ingin melakukan perjalanan, bukankah dia akan mempersiapkan bekal yang terbaik dan dapat mengantarkannya sampai tujuan?”
Mereka menjawab, “Benar, memang demikian adanya.”
“Sesungguhnya perjalanan menuju akhirat lebih jauh daripada yang kalian tuju di dunia ini,” kata Abu Dzar.
Mereka bertanya, “Lalu bekal apa yang baik bagi kami?”
Abu Dzar menjawab, “Berhajilah kalian untuk menghadapi urusan yang amat agung, berpuasalah pada hari yang panasnya sangat terik untuk menghadapi lamanya hari kebangkitan dan laksanakanlah shalat dua rakaat di kegelapan malam untuk mengahadapi kengerian dalam kubur. 

Sahabat muslim selayaknya kita hatus mempersiapkan bekal sebelum kita berangkat. Untuk menentukan bekal yang akan kita bawa, terlebih dahulu kita mengetahui tujuan yang akan kita tuju. Jika kita mau mendaki gunung, bekal yang akan kita bawa paling tidak adalah matras, tenda, ransel, makanan, air minum, jas hujan, penerang/senter dan sebagainya. Selain itu, kita juga harus mengetahui medan yang akan kita lalui. Landai, terjal, jalan yang berbatu serta cuaca saat pendakian serta keadaan gunung yang akan kita daki. Setelah persiapan sudah matang dan informasi tentang medan serta keadaan gunung sudah dirasa cukup maka pendakian bisa dimulai. Ketika pendakian sudah dimulai, maka jangan pernah untuk turun lagi sebelum kita samapi dipuncak. Walau dalam pendakian kita harus menghadapi medan yang curam atau cuaca yang ekstrim. Jika kita sudah berhenti samapi disini, maka kita tidak akan pernah sampai di puncak gunung.
Begitu juga dengan kehidupan ini wahai sahabat muslim. Kita harus mempersiaapkan bekal kita untuk perjalanan panjang ini. Agar tujuan kita memasuki surga-Nya bisa kita raih. Oleh karena itu mari kita persiapkan bekal itu sejak sekarang. Jangan ditunda-tunda lagi. Selagi sempat, gunakan waktu agar bermanfaat. Sebelum usia berkarat, dan hanya penyesalan yang didapat.

1.      Iman
Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw pernah ditanya, “Apakah amal yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Menurut etimologi iman artinya pengakuan yang mengharuskan untuk menerima dan tunduk, dan harus disesuaikan dengan syariat.[1]
Dari Anas Radhiallahu’anhu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
ثلاث من كن فيه وجد بهن حلاوة الإيمان : أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله، وأن يكره أن يعود في الكفر بعد أن أنقذه الله منه كما يكره أن يقذف في النار". وفي رواية : " لا يجد أحد حلاوة الإيمان حتى ... إلى آخره.
“Ada tiga perkara, barang siapa terdapat di dalam dirinya ketiga perkara itu, maka ia pasti mendapatkan manisnya iman, yaitu : Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari pada yang lain, mencintai seseorang tiada lain hanya karena Allah, benci (tidak mau kembali) kepada kekafiran setelah ia diselamatkan oleh Allah darinya, sebagaimana ia benci kalau dicampakkan kedalam api”. (Imam Bukhori dan Muslim)
 Al Hafizh Ibnu Hajar menulis, “Secara etimologi, iman berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara syar’I, iman adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Rasul dari Rabb-nya. Ibnu hajar juga menambahkan, “Iman meliputi perkataan dan perbuatan, bisa bertambah bisa berkurang.”[2]

Syaikh Muhammad Bin Utsaimin dalam bukunya Syarah Al-Araba’in An-Nawawiyah ada kaidah-kaidah yang menjadi poin penting dalam rukun Islam, yaitu

a.      Iman Kepada Allah SWT.
Beriman kepada Allah SWT mencakup empat hal, yaitu:
1)      Percaya akan keberadaan-Nya.
2)      Beriman bahwa rububiyah hanya milik-Nya. Dengan kata lain, beriman bahwa Dia adalah Rabb atu-satunya, hanya Dia yang memiliki kuasa rububiyah. Rabb artinya Pencipta, Penguasa dan Pengatur.
3)      Beriman bahwa uluhiyah hanya milik-Nya, Dialah ilah satu-satu-Nya, tidak ilah yang berhak diibadahi selain-Nya, tiada sekutu bagi-Nya.
4)      Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah, dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat seperti yang Allah sebut untuk diri-Nya dalam kitab-Nya atau dalam sunnah rasul-Nya, secara baik, tanpa tahrif (mengubah kata-katanya), ta’thil (mengabaikan makna sebenarnya), takyif (menggambarkan esensinya) ataupun tamstil (menyerupakan dengan makhluk).

b.      Iman Kepada Malaikat
Beriman kepada malaikat mencakup beberapa hal di bawah ini:
1)      Mengimani nama-nama malaikat yang kita ketahui. Kita beriman bahwa ada malaikat yang bernama ini dan itu, Jibril misalnya.
2)      Kita beriman bahwa para malaikat memiliki tugas masing-masing.
Allah berfirman, “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.(QS. Qaf: 16-18)

c.       Iman Kepada Kitab Allah.
Beriman kepada Allah mencakup empat hal sebgai berikut:
1)      Kita beriman bahwa Allah menurunkan kitab-kitab kepada rasul dari sisi Allah. Namun, kita tidak percaya bahwa kitab-kitab yang abadi kalangan umat-umat sekarang selain umat Islam itulah yang diturunkan dari sisi Allah, karena semua kitab mereka sudah diubah-ubah dan diganti. Untuk kitab yang asli dari Allah untuk rasul, kita percaya itu benar dari sisi Allah.
2)      Kita mengimani kebenaran berita-berita yang disampaikan di dalamnya seperti berita-berita Al Quran, dan berita-berita dalam kitab lain sebelumnya yang tidak diubah dan diganti.
3)      Kita mengimani hukum-hukum yang tertera dalam kitab-kitab Allah selama tidak berseberangan dengan syariat kita, menurut pendapat yang menyatakan bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat untuk kita juga. Ini benar, selama tidak berseberangan dengan syariat kita.
4)      Kita mengimani nama-nama kitab yang kita tahu, seperti Al Quran, Taurat, Injil, Zabur, lembaran-lembaran Ibrahim dan Musa.

d.      Iman Kepada rasul-Nya
Utusan Allah kadang disebut rasul dan juga nabi. Rasul adalah orang yang diberi wahyu berupa syariat, diperintahkan untuk mengamalkan dan diperintahkan untuk disampaikan kepada umatnya. Sedangkan nabi adalah orang yang diberi wahyu berupa syariat, diperintahkan untuk mengamalkan, hanya saja tidak diperintahkan untuk disampaikan. Para rasul adalah yang berada ditingkatan teratas yang diberi lipahan karunia oleh Allah. Mereka adalah Nabi Muhammad SAW, Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS yang disebut dengan rasul ulul ‘azmi. Nama-nama mereka disebutkan dalam firman Allah berikut:  
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh”. (QS. Al Ahzab (33): 7)

e.      Iman Kepada Hari Kiamat
Beriman kepada hari kiamat mencakup beberapa hal:
1)      Beriman bahwa hari akhir benar-benar terjadi. Allah akan membangkitkan manusia dari kubur saat sangkakala ditiup dan seluruh manusia berdiri menghadap Rabb seluruh alam. Allah berfirman “Kemudian, sesungguhnya kamu akan dibangkitkan (dari kuburmu) pada hari kiamat.” (Al-Mu’minun: 16)
2)      Mengimani segala hal terkait hari akhir yang disebutkan dalam kitab Allah dan sunnah yang sahih dari Nabi saw.
3)      Mengimani segala sesuatu yang disebut pada hari akhir, seperti telaga Nabi, syafaat, shirath, surga, neraka, dan lainnya. Surge sebagai negeri kenikmatan, sementara neraka sebagai negeri siksaan berat.
4)      Mengimani adanya nikmat dan azab kubur, karena hal tersebut tertera dalam Al Quran, sunnah, dan ijmak salaf.

f.        Iman Kepada Takdir Allah.
Beriman kepada takdir mencakup empat hal sebagai berikut:
1)      Mengimani ilmu Allah yang meliputi segala-galanya, baik secara garis besar maupun rinci. Allah berfirman, “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 282)  
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al-An’am: 59)
2)      Beriman bahwa Allah telah menulis takdir segala sesuatu hingga hari kiamat dalam Lauhul Mahfuzh. Allah berfirman, “Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
3)      Beriman bahwa apapun yang terjadi di alam ini sesuai kehendak Allah, tidak ada satu pun yang luput dari kehendak-Nya. Allah berfirman, “Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya.” (Al-An’am: 112)
4)      Beriman bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara umum. Allah berfirman, “Dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetpkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” (QS. Al-Furqan: 2)
Makna iman tak sebatas hanya mencangkup rukun iman saja, tapi lebih luas dari itu. Iman itu terdiri dari enam puluh sekian cabang, hal ini tersirat dalam hadist Rasulullah saw,
“Iman terdiri dari enam puluh sekian cabang, dan malu adalah bagian dari Iman.” (HR. Al-Bukhari)
Al Hafizh menulis cabang-cabang ini meliputi amal hati, amal lisan dan amal badan. Yang termasuk amal hati adalah keyakinan dan niat.
Amal hati mencakup 24 perkara:
1)      Beriman kepada Allah
2)      Beriman kepada malakikat-malaikat-Nya
3)      Beriman kepada kitab-kitab-Nya
4)      Beriman kepada rasul-rasul-Nya
5)      Beriman kepada takdir yang baik dan buruk
6)      Beriman kepada hari kiamat
7)      Ikhlas yang meliputi tidak riya’ dan plin-plan
8)      Taubat
9)      Khauf (takut pada siksa Allah)
10)  Raja’ (mengharap pahala dari allah)
11)  Syukur
12)  Memenuhi janji
13)  Sabar
14)  Ridha terhadap takdir
15)  Tawakal
16)  Berbelas kasih
17)  Tawadhu’
18)  Menghormati yang lebih tua
19)  Mengasihi yang lebih muda
20)  Tidak sombong
21)  Tidak ‘ujub
22)  Tidak iri
23)  Tidak dengki
24)  Tidak marah

Amal lisan meliputi tujuh perkara:
1)      Melafalkan tauhid
2)      Membaca al Qur’an
3)      Mempelajari ilmu dan mengajarkannya
4)      Berdoa
5)      Berdzikir
6)      Istigfar
7)      Menjauhi laghwu (ucapan yang sia-sia)

Amal badan terbagi menjadi tiga bagian:
1)      Yang mencakup personal:
a.      Bersuci secara nyata maupun secara hukum
b.      Menjauhi berbagai najis
c.       Menutup aurat
d.      Melakukan shalat wjaib ataupun sunnah
e.      Haji
f.        Umrah
g.      Thawaf
h.      I’tikaf
i.        Mencari malam al Qadar
j.        Mempertahankan agama
k.       Berhijrah dari negeri kemusyrikan
l.        Menepati nadzar
m.    Berhati-hati dalam bersumpah
n.      Membayar kafarat

2)      Yang menyangkut orang lain:
a.      Menjaga kehormatan diri dengan menikah
b.      Memenuhi hak keluarga
c.       Berbakti kepada orang tua
d.      Menjauhi sikap durhaka
e.      Mendidik anak
f.        Menjalin tali silaturahim
g.      Menaati majikan atau mengasihi budak

3)      Yang menyangkut khalayak
a.      Memimpin dengan adil
b.      Mengikuti jamaah
c.       Menaati Ulil amri
d.      Mengadakan perbaikan diantara manusia
e.      Tolong menolong daalam kebaikan termasuk amar ma’ruf nahi munkar
f.        Menegakkan hokum hudud
g.      Menegakkan jihad termasuk ribath (berjaga di daerah perbatasan)
h.      Menunaikan amanat termasuk menyerahkanseperlimaa harta raampasan perang kepada Baitul Mall
i.        Memberikan pinjaman dan membayarnya tepat waktu
j.        Memuliakan tetangga
k.       Bermuamalah dengan baik termasuk mengumpulkan harta dari yang halal
l.        Menginfakkan harta pada tempatnya termasuk meninggalakan tabdzir dan israf
m.    Menjawab salam
n.      Mendoakan orang yang bersin
o.      Mencegah marabahaya yang menghampiri seseorang
p.      Menjauhi lahwu (perbuatan sia-sia)
q.      Menyingkirkan gangguan dari jalan.




[1] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Op. Cit., Hlm. 49
[2] Syajaratul Iman, Ahmad Farid.

Tidak ada komentar: