Minggu, 31 Agustus 2014

Di Surga Kita Kan Bersua

Dari Rajâ` bin ‘Umar an-Nakha’iy, dia berkata,
“Di Kufah ada seorang pemuda berparas tampan, sangat rajin beribadah dan sungguh-sungguh. Dia juga termasuk salah seorang Ahli Zuhud. Suatu ketika, dia singgah beberapa waktu di perkampungan kaum Nukha’ lalu –tanpa sengaja- matanya melihat seorang wanita muda mereka yang berparas elok nan rupawan. Ia pun tertarik dengannya dan akalnya melayang-layang karenanya. Rupanya, hal yang sama dialami si wanita tersebut. Pemuda ini kemudian mengirim utusan untuk melamar si wanita kepada ayahnya namun sang ayah memberitahukannya bahwa dia telah dijodohkan dengan anak pamannya (sepupunya). Kondisi ini membuat keduanya begitu tersiksa dan teriris.

Lalu si wanita mengirim utusan kepada si pemuda ahli ibadah tersebut berisi pesan, ‘Sudah sampai ke telingaku perihal kecintaanmu yang teramat dalam kepadaku dan cobaan ini begitu berat bagiku disertai liputan perasaanku terhadapmu. Jika berkenan, aku akan mengunjungimu atau aku permudah jalan bagimu untuk datang ke rumahku.’ Lantas dia berkata kepada utusannya itu, ‘Dua-duanya tidak akan aku lakukan. Dia kemudian membacakan firman-Nya, ‘Sesungguhnya aku takut siksaan pada hari yang agung jika berbuat maksiat kepada Rabbku.’ (Q.s.,az-Zumar:13) Aku takut api yang lidahnya tidak pernah padam dan jilatannya yang tak pernah diam.’

Tatkala si utusan kembali kepada wanita itu, dia lalu menyampaikan apa yang telah dikatakan pemuda tadi, lantas berkatalah si wanita,
‘Sekalipun yang aku lihat darinya dirinya demikian namun rupanya dia juga seorang yang amat zuhud, takut kepada Allah? Demi Allah, tidak ada seorang pun yang merasa dirinya lebih berhak dengan hal ini (rasa takut kepada Allah) dari orang lain. Sesungguhnya para hamba dalam hal ini adalah sama.’

Kemudian dia meninggalkan gemerlap dunia, membuang semua hal yang terkait dengannya, mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu (untuk menampakkan kezuhudan) dan berkonsentari dalam ibadah. Sekalipun demikian, dia masih hanyut dan menjadi kurus kering karena cintanya terhadap si pemuda serta perasaan kasihan terhadapnya hingga akhirnya dia meninggal dunia karena memendam rasa rindu yang teramat sangat kepadanya.

Sang pemuda tampan pun sering berziarah ke kuburnya. Suatu malam, dia melihat si wanita dalam mimpi seolah dalam penampilan yang amat bagus, seraya berkata kepadanya, ‘Bagaimana kabarmu dan apa yang engkau temukan setelahku.?’ Si wanita menjawab,
Sebaik-baik cinta, adalah cintamu wahai kekasih
Cinta yang menggiring kepada kebaikan dan berbuat baik


Kemudian dia bertanya lagi, ‘Ke mana kamu akan berada.?’ Dia menjawab,
Ke kenikmatan dan hidup yang tiada habisnya
Di surga nan kekal, milik yang tak pernah punah


Dia berkata lagi kepadanya, ‘Ingat-ingatlah aku di sana karena aku tidak pernah melupakanmu.’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, akupun demikian. Aku telah memohon Rabbku, Mawla -ku dan kamu, lantas Dia menolongku atas hal itu dengan kesungguhan.’ Kemudian wanita itupun berpaling. Lantas aku berkata kepadanya, ‘Kapan aku bisa melihatmu.?’ Dia menjawab, ‘Engkau akan mendatangi kami dalam waktu dekat.’

Rupanya benar, pemuda itu tidak hidup lama lagi setelah mimpi itu, hanya tujuh malam. Dan, setelah itu, dia pun menyusul, berpulang ke rahmatullah. Semoga Allah merahmati keduanya.

(Sumber: al-Maw’id Jannât an-Na’îm karya Ibrâhîm bin ‘Abdullah al-Hâzimy, ha.14-15, sebagai yang dinukilnya dari bukunya yang lain berjudul Man Taraka Syai`an Lillâh ‘Awwadlahullâh Khairan Minhu)
 diambil dari www.alsofwah.or.id

Selasa, 26 Agustus 2014

Singkirkan penghalang jalanmu!


“Apabila Allah menganjurkan sesuatu kepada para hamba-Nya, iblis pasti merintanginya dengan dua perkara. Ia tidak peduli akan berhasil dengan tipu daya yang mana, berlebih-lebihan atau menyempelekan.” (Makhlad bin Husain)

Tibalah kita dalam pembahasan menyingkirkan penghalang jalan yang akan kita lalui. Sangat banyak penghalang-penghalang yang mepersulit dalam perjalanan kita. Terkadang ditengah jalan, tak sengaja kita menginjak duri, tersanduG batu kecil, ban sepeda motor  bocor, mogok ditengah jalan dan masih banyak yang lain. Kalau kita tidak mengetahui ilmunya, kita akan kesulitan  mengatasinya.
Begitu juga dengan jalan yang telah kita pilih. Kalau kita tidak tahu ilmunya kita juda akan kesulitan menghadapi rintangan dan cobaan yang menjadi penghalang jalan kita. Untuk itu mari kita kenali penghalang apa yang akan kita jumpai dalam perjalanan yang lurus ini.
1.      Hawa Nafsu
Ibnu Abbas ra. berpendapat, Allah ta’ala tidak menyebutkan hawa nafsu didalam al-Qur’an kecuali Dia mencelanya, “Dan ia mengikuti hawa nafsunya, maka perumpamaannnya seperti perumpamaan seekor anjing.” Dan firmanya yang lain, “Dan ia mengikuti akan hawa nafsunya
Tak ada ukuran, takaran dan batasan keinginan sebuah nafsu. Jika sesorang menuruti setiap keinginan nafsunya maka ia telah masuk dalam jurang kehancuran. Jika keinginan yang satu telah terpenuhi maka nafsu akan meminta keinginannya yang lain. Sehingga tidak ada lagi bentuk keinginan kecuali nafsu yang memintanya. Sesungguhnya nafsu selalu menyuruh kepada kemaksiatan.
Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya, menyebutkan ada tiga nafsu menurut al Qur’an, yaitu:
a.                  Nafsu Amarah Bissu’ (selalu menyuruh kepada kemaksiatan)   
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53)
Pengertiannya bahwa nafsu manusia yang belum dibentengi dengan iman dan belum dibingkai dengan nilai-nilai ketakwaan serta belum terikat dengan agama Tuhan, maka jiwa manusia berpotensi untuk melakukan perbuatan buruk yang didorong oleh syahwat dan nafsu.
b.      Nafsu Lawwamah (selalu menggerutu dan menyesal)  
“Aku bersumpah demi hari kiamat, Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS.Al-Qiyammah: 1-2)
Al-Mujahid mendifinisikan nafsu lawwamah adalah nafsu yang selalu mencela dirinya sendiri terhadap tindakan yang telah berlalu, juga selalu menyesal atas kejahatan yang dilakukan, menyesal kenapa tidak memperbanyak melakukan kebaikan, dia selalu mencela sekalipun dia telah melakukan ketaatan.
c.       Nafsu Al-Muthamainnah (selalu tenang)
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)
Nafsu al-muthamainnah adalah nafsu yang stabil dan senantiasa tetap dalam iman, takwa dan islam. Nafsu ini adalah tingkatan dan martabat nafsu yang paling utama, mulia dan kesucinnya paling tinggi.
Sahabat muslim, marilah kita kendalikan hawa nafsu kita. Jangan sampai kita disetir oleh hawa nafsu. Sesungguhnya hawa nafsu akan membawa kedalam jurang keburukan. Jika iblis tidak mampu menggoda dengan nafsu kemaksiatan maka ia akan menggoda kita dengan nafsu berlebih-lebihan dalam beribadah. Sehingga kita melupakan kewajiban kita sebagai seorang ayah yang bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga. Sehingga kita lupa sebagai seorang ibu yang bertanggung jawab merawat dan mendidik anak-anaknya. Sehingga kita lupa sebagai seorang pemuda bahwa disekitar kita masih banyak kemaksiatan dan kekufuran yang harus kita perangi. Tapi kita malah asyik dengaan ibadah-ibadah yang melampaui batas, yang tidak ada tuntunannya dalam al Qur’an dan sunnah.
Itulah iblis, banyak ranjau yang ia tanam di sepanjang jalan. Yang tanpa kita sadari akan meledakkan dan meruntuhkan amal-amal kita. Jika kita tidak mampu rontoklah kekuatan iman dan takwa kita.
Berikut cara agar kita tidak terjerumus dalam nafsu yang buruk:
a.      Tingkatakan keimanan kita.
Cara yang pertama adalah tingkatakan keyakinan kita kepada Allah ta’ala. Kita percaya dan yakin bahwa segala sesuatu dikendalikan oleh-Nya. Begitu juga dengan hasil yang akan kita dapatkan setelah berlelah-lelah berjuang. Allah swt mengetahui apa-apa yang dilakukan setiap hamba-Nya. Begitu juga dengan masalah hati. Meski kita tidak mengucap, tapi allah swt mengetahui apa yang ada dalam hati kita. Yakinlah bahwa Allah swt akan menilai amal kita sesuai dengan niat dan cara yang seusai dengan syariat. Yakinkan dalam hati anda, bahwa Allah swt akan membalas setiap amalan hati dan perbuatan yang kita kerjakan yang baik maupun yang buruk. Malaikat tak akan pernah lalai dan lupa untuk mencatat segala perbuatan kita. Mereka akan bergantian siang malam mengawasi kita.
Dengan meningkatkan keimanan kita kepada Allah swt, kita bisa terhindar dari jebakan hawa nafsu yang dirancang oleh iblis dan bala tentaranya. Dengan iman yang kuat kita merasa selalu dalam pengawasannya. Dengan begitu kita akan bersungguh-sungguh dalam beribadah, berdakwah dan mencari nafkah. Dengan begitu tidak mungkin seorang mukmin untuk menuruti hawa nafsunya. Berlama-lama dalam perbuatan sia-sia. Mengerjakan amalan yang tak ada sumbernya. Berkata yang tak bermakna.
b.      Menyibukkan dengan perbuatan yang bermanfaat.
"Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya." (Tirmidzi no. 2318, Ibnu Majah no. 3976)
Dalam sebuah makalah, peneliti menunjukan bahwa orang yang sibuk lebih bahagia daripada orang yang menganggur. Akan tetapi kebanyakan orang memilih untuk menganggur. Padahal dengan menganggur, orang mudah sekali dimasuki pikiran-pikiran yang kotor. Mereka mudah terkena hasutan iblis. Pada saat itulah nafsu yang menjadi pegendalinya. Bila suatu hari sahabat muslim menganggur, maka bersiaplah galau, resah, cemas dan sedih. Karena pada saat kosong, pikiran anda akan menerawang tak tentu arah. Pikiran anda akan dipenuhi dengan imajinasi, berprasangka terhadap orang lain dan sebagainya. Yang akan membuat akal tak lagi bisa terkontrol.
Nafsu jika tidak disibukkan dengan perbuatan baik maka nafsu akan menyibukkan dengan perbuatan buruk. Karena nafsu cenderung mengajak kita kedalam keburukan. Maka dari itu, sibukkanlah diri anda dengan amalan-amalan yang bermanfaat. Lakukan amalan yang bermanfaat bagi orang lain maupun bagi diri anda. Paling tidak, lakukan amalan yang tidak merugikan orang lain dan diri anda. Dari hadits diatas sangat jelas mengenai anjuran untuk meninggalkan sesuatu yaang tidak berguna. Banyak sekali jenis amalan yang bermanfaat, semisal:
ü  Menghadiri maajelis ta’lim
ü  Mengaji
ü  Membaca al-Qur’an
ü  Membaca buku
ü  Ikut dalam oraganisasi
ü  Berpartisipasi dalam kegiatan sosial
ü  Membersihkan rumah, dll
Jangan biarkan waktu kosong anda dengan menganggur, karena sama saja anda memberi kesempatan kepada hawa nafsu untuk menguasai anda. Bunuhlah waktu kosong anda dengan kesibukan yang bermanfaat. Dengan menyibukan diri, secara tidak sadar kita telah membunuh hawa nafsu. Dengan begitu anda akan bahagia sepanjang hidup anda. Aamiin..
c.       Ikutilah kata hati bukan nafsu.
Dari Nawwas bin Sam’an dari Rasulullah saw,
“... Beliau bersabda : ‘Mintalah fatwa dari hatimu. Kebajikan itu adalah apa-apa yang menentramkan jiwa dan menenangkan hati dan dosa itu adalah apa-apa yang meragukan jiwa dan meresahkan hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya”. (HR. Imam Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi, Hadits hasan).
Dalam kitab Syarah Hadits Arba’in An Nawawi, Syaikh Muhaammad Bin Shalih Al-Ustaimin menjelaskan inti sari hadits tersebut adalah boleh merujuk pada hati, dengan syarat orang tersebut haruslah istiqomah dalam beragama. Siapa pun tidak perlu terepangaruh oleh penjelasan orang lain, terlebih jika dalam hatinya merasa bimbang. Karena tidak sedikit orang bertanya kepada seorang alim atau pelajar, kemudian ia diberi penjelasan, namun dalam hatinya merasa bimbang dan ragu. Apakah orang yang merasa ragu dan bimbang ini boleh bertanya kepada orang alim lainnya? Ya, bahkan wajib untuk bertanya pada orang alim lain ketika meragukan jawaban sebelumnya.
Sabda Rasulullah saw, “dosa adalah apa-apa yang dirimu merasa ragu-ragu dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya”
Maksudnya adalah perbuatan yang ditolak oleh hati nurani. Ini merupakan suatu pedoman untuk membedakan antara dosa dan kebaikan. Dosa menimbulkan keraguan dalam hati dan tidak senang jika orang lain mengetahuinya.
Sahabat muslim,  jika diibaratkan nafsu seperti anak kecil. Jika ia dibiarkan menetek maka sampai tua ia akan tetap menetek. Tapi jika ia disapih ia pun akan berhenti. Begitu juga dengan nafsu. Jika terus dituruti maka ia akan terus meminta, tapi jika kita melawan dan tidak menurutinya maka ia akan berhenti.
d.      Bertemanlah dengan orang baik
“Permisalan teman duduk yang shalih dan buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Adapun penjual mintak wangi, bisa jadi ia akan memberimu minyak wangi atau kamu akan membeli darinya atau kamu mendapat bau harum darinya. Adapun tukang pandai besi, bisa jadi ia akan membuat pakaianmu terbakar, atau kamu akan mendapat bau yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang teman yang baik, tak akan menjerumuskan temannya ke jurang kemaksiatan. Maka banyak-banyaklah berteman dengan orang baik, karena berteman dengan mereka akan memberikan kita kebaikan juga. Mereka akan mempengaruhi kita untuk melakukan kebaikan. Jika seseorang berteman dengan ahli ibadah, maka ia akan terpengaruh untuk melakukan ibadah. Jika seseorang berteman dengan orang shalih, maka ia akan terpengaruh dengan perbuatan yang dilakukan orang shalih tersebut.
Begitu juga sebaliknya, jika sesorang berteman dengan orang yang berbuat kemaksiatan, maka ia akan terpengaruh dengan mereka. Sehingga ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang merugi.
“Jangan kamu berteman kecuali dengan orang mukmin, dan jangan memakan-makananmu kecuali orang yang takwa.” (HR. At-Turmudzi)
Sahabat muslim, Rasulullah saw telah memberikan petunjuk kepada kita dalam memilih teman. Teman baik akan selalu memberikan nasehat saat kita melakukan tindakan yang ceroboh. Teman yang baik akan mendengarkan curahan hati kita. Teman yang baik akan menjaga rahasia kita. Teman yang baik akan berusaha semampunya membantu kesusahan kita. Teman yang baik akan memberikan solusi setiap masalah yang kita hadapi. Teman yang baik akan memberikan semangat disaat kita dalam kepurukan. Temaan yang baik akan mengingatkan kita dalam ketaatan kepada Allah ta’ala.

Rasulullah bersabda, “Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat temannya.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)