Senin, 09 Mei 2011

Pahala

Seorang balita tampak
memperhatikan ibunya yang
masih sibuk di dapur.
Tangannya begitu cekatan
mempermainkan alat-alat
dapur untuk disusun rapi.
Sesekali, sang ibu kembali sibuk
mengaduk-aduk masakan yang
berada tak jauh dari tempatnya
berdiri.
Sang balita tak tahu persis,
sejak kapan bunda tercintanya
itu terbangun dari tidur. Yang ia
tahu, ketika terbangun, ibunya
sudah mondar-mandir di
dapur. Padahal, baru tiga jam
yang lalu, ia masih ingat betul
bagaimana ibunya telah
direpotkan dengan ompol dan
buang air besar sang adik di
TKP, alias tempat tidur.
“Mbok Iyem masih di kampung,
ya, Ma?” ucap sang balita ke
ibunya.
Sang ibu hanya menoleh
dengan senyum, kemudian
mengangguk pelan. “Kamu
kangen, ya?” ucap sang ibu
agak membungkuk.
“Aku cuma heran, Ma. Kok,
kerja Mama sama Mbok Iyem
beda sih ?” tanya sang balita
serius.
“Iya beda, sayang. Mbok Iyem
kerja di sini karena ada gaji dan
kewajiban mengurus rumah
kita, ” ucap sang ibu singkat.
“Kalau Mama, karena apa?”
tanya sang balita lagi.
”Cinta!” jawab sang ibu sambil
mengecup pipi balitanya.
**
Dalam tafsiran yang lebih
khusus, tidak sedikit dari kita
yang ’berkerja’ dalam ibadah
kepada Yang Maha Pencipta,
Pemberi rezeki, dan Penguasa
alam raya; hanya sebatas pada
kewajiban seorang hamba
kepada Khaliqnya. Di situlah
ada harapan mendapatkan
balasan berupa gaji yang
bernama pahala.
Walaupun masih tergolong
wajar, tapi itu akan menggiring
sang hamba pada hitung-
hitungan antara kewajiban dan
pahala. Seolah, kepuasan dari
menunaikan kewajiban adalah
berlimpahnya pahala. Persis
seperti seorang pembantu yang
rajin dan malasnya sangat
bergantung pada gaji dari
majikan.
Tidakkah sang hamba menekuri
lebih dalam bahwa nilai surga
yang dijanjikan tidak akan
sebanding dengan seberapa
pun banyaknya pahala
seseorang. Yang Maha Sayang
semata-mata memasukkan
hambaNya ke surga karena
limpahan cintaNya kepada
hamba-hambaNya yang juga
beramal karena cinta. Persis
seperti seorang ibu yang
melakoni lautan kewajiban
dengan samudera cinta.

Tidak ada komentar: